Matahari mulai membakar. Langit sangat cerah. Hamparan pekebunan warga
yang luas bagai permadani lecek. Karena memang permukaan tanah yang tak
teratur. Saya tidak tau, ini pada ketinggian berapa. Perjalanan di
lanjutkan. Didepan mata sudah terlihat areal hutan lebat dan kita akan
memasuki hutan sebentar lagi.
Setelah menyebrangi sungai terakhir menuju puncak dan sebelum memasuki hutan beberapa teman mengambil air untuk persediaan.
Ritme kaki menapaki jalur track pendakian agak sedikit teratur. perlahan saya menemui pola berjalan mendaki yang lumayan lebih baik. Jantung yang berdebar berdetak kencang hanya bisa berkompromi dengan berhenti sejenak kemudian jalan lagi.
Awal memasuki hutan ternyata jalur pendakian
bertambah curam. Dengan akar pohon yang menjadi pijakan dengan membentuk
anak tangga. Panas matahari tidak terasa karena terhalang daun pohon
yang rindang. Saya berjalan di kelompok terdepan dari rombongan.
Awalnya memang kami jalan berderet rapat. Namun kemudian tiba tiba jadi
berkelompok karena setiap orang punya kekuatan yang berbeda untuk
menanjak.
Hingga pada akhirnya lambat laun terpisah dari rombongan dibelakang. Namun tidak dapat mengejar kelompok terdepan. Baru sadar, ternyata saya berjalan sendirian. Sendirian dihutan yang sebelumnya saya tidak kenal sama sekali. Bagaimana kalau nyasar? Jika ada binatang buas yang tiba tiba menerkam dari belakang? Atau sergapan monyet dari balik pohon dan mengambil apa saja yang saya bawa? celingukan penuh waspada. Samping kanan kiri semak belukar. Jauh pandangan mata kedepan adalah track menanjak yang sudah tidak terlihat lagi teman teman saya. Dibelakangpun demikian. Hanya sesekali teman teriak dari bawah sana sebagai tanda kalau jarak kita tidak begitu jauh. Kadang saya juga berteriak untuk kasih pertanda.
Sampai pada suatu saat saya menghentikan langkah. Dan memang selalu begitu setiap
nafas dan detak jantung bergerak cepat. Berhenti dengan kedua kaki tetap
berdiri sejajar. Memejamkan mata merasakan udara dengan tenang.
Mendengar daun dan ranting yang tertiup angin. Bergumam beberapa kalimat
doa yang tidak saya ceritakan disini. Saya tidak lagi mendengarkan
kenalpot kendaraan yang berdesing memenuhi pendengaran seperti saat di
kota sana. Disini begitu hening. begitu mengandalkan "rasa" . Hidup adalah pendakian. Hidup adalah
menyicil lunas penderitaan. Hidup adalah meniti jalan, menapaki bumi dan
menggapai angkasa.. gumam saya.
Kali ini suasana hati lebih tenang. Langit sangat teduh. Meski jalur pendakian mulai menyempit dengan anak tangga akar pohon yang besar. Kadang kabut turun menyapa dengan dinginnya. Seperti taburan cahaya dari cakrawala sana datang perlahan bergerak melintasi ruang disela sela pepohonan. Satu dua pendaki yang bukan dari rombongan kami menyusul. Tegur sapa sekedar basa basi sudah biasa. Paling saya bertanya apakah teman saya dibawah sana dengan seragam yang sama masih jauh? Mereka menjawab iya. Kemudian mereka berlalu.
Sepanjang jalan saya berdoa. Untuk keselamatan diri saya. Untuk siapa yang menapaki jalan ini ratusan tahun lalu dengan niatan yang bersih. Karena saya yakin bahwa di setiap gunung pasti ada manusia suci yang pernah mengarungi sampai kepuncak untuk serius bermunajat kepada Tuhan. Saya melihat sosok bayang banyang mereka menapaki jalan. Kemudian menghilang sekedipan mata melesat berupa cahaya..
Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar