Page

Kamis, 12 Juli 2012

Pemulung Cahaya






Kata teman saya. Time Line di twitter itu seperti selokan besar yang mengalir didepan rumah. Siapa saja buang limbah pribadinya disitu. Bentuknya macam macam. Jadi kalo ada tetangga buang apa kemudian kebetulan pas kita lagi buka pintu rumah ya mau tidak mau dipaksa menikmati pemandangan yang bentuknya macam macam tadi. Kecuali tidak buka pintu rumah sama sekali atau sekalian hengkang. Pindah rumah.  cari rumah yang tidak ada selokannya. Permasalahannya adalah kita sendiri. Kita yang menentukan posisi rumah memang disitu. Karena memang niat awalnya adalah bertempat disitu supaya kita sendiri gampang buang sampah apapun.    Yang penting ketika buang sampah kemudian hati menjadi lega. Tidak perduli tetangga yang sebelahnya lagi. Mereka menikmati sampah kita atau tidak. Tidak perduli. Mungkin itupun yang dilakukan oleh para penghuni rumah rumah lain disepanjang aliran sungai sampah sungai Time Line. 


Istilah sampah pada update status di aliran Time Line menjadi sebegitu negatifnya bagi teman saya ini. Walaupun ia memakai istilah sampah. Sampai hari ini dia sebenarnya juga masih konsisten dengan nyampah tiap hari sambil menikmati kepungan sampah yang semakin hari semakin banyak. 

Diam diam saya setuju dengan istilahnya. Meski saya berfikir ulang apakah apa yang dibuang di Time Line itu beneran sampah atau bukan. Sebab bisa jadi menurut tetangga yang kaya itu hal yang dibuang merupakan sampah. Karena dia kaya. Sementara menurut saya yang kere ini bahwa apa yang dibuang itu bisa jadi berharga buat saya. Bernilai karena kebetulan saya miskin. Yang di buang justru yang saya butuhkan. Dan jadilah saya pemulung. Pengepul barang bekas siapa tau masih bisa dipakai. Didaur ulang.
Maka.. Konsistensi saya tiap hari nongkrong didepan rumah selain buang sampah. Sebenarnya juga nungguin sampah sampah dari orang kaya. Kere memang. Ya daripada terpaksa menikmati sampah tanpa ada yang bisa diambil sedikitpun.. 

Nah.. Urusan memilah sampah ini kan soal daur ulang. Menemukan segi faedah dari setiap apapun kejadian. Menemukan kembali dzat cahaya dari setiap benda, kata, kalimat, gambar, warna, angka atau apapun saja. Karena keyakinan saya bahwa segala sesuatu mengandung unsur cahaya. Jadi daur ulang merupakan kegiatan menemukan kembali cahaya yang terkandung dari apapun. 

Pada tingkatan tertentu untuk sekedar menjadi Pemulung Cahaya ini agak butuh kepekaan. Terkadang kata kata baik yang mampir di telinga kita sendiri dan itu yang sudah sangat jelas merupakan kebaikan saja kita tidak mampu benar benar mendengar dengan baik. Tidak mampu mengambil hikmah dari apa yang disampaikan dengan cahaya yang telanjang. Maksudnya tidak usah diurai dan ditafsir lagi, sudah merupakan nasehat dan kebaikan. Apalagi kata kata atau bentuk apapun sudah hampir hilang cahayanya. Jadilah ia samar. Samar dengan kata kata umpatan, kemarahan, debu debu riya yang menggelapkan. Pokoknya sampah lah. 

Sebenarnya istilah pemulung ini memang saya pakai di Twitter. Sebab banyak huruf dan kata kata yang mengalir setiap hari dengan topik yang berbeda beda. Oke.. ini memang virtual. Meski setidaknya ungkapan di Time Line  dari setiap orang cukup mewakili nuansa pikir dan bathin seseorang. Sadar atau tidak sadar. Singkatnya itu cermin kehidupan di alam mereka masing masing. Kalau kita tarik lagi dalam kaca yang lebih besar. Media sosial semacam Twitter dan Facebook merupakan satu diantara benda dari banyak benda yang kita jumpai. Dalam skala yang lebih besar lagi kita akan menjumpai cakupan yang tentu lebih luas. Yang kita hadapi tidak lagi semacam selokan atau sungai. Tetapi ternyata kita tengah berada di pusat samudera kehidupan. Dimana kalau kita tengok ribuan muara. Tidak sedikit sungai yang mengirimkan limbah sampah kehidupan. Kalau begitu, fitrah manusia harusnya bisa mengurai kembali mana yang sampah atau bukan. Untuk supaya air tetap jernih. Tetap bisa hidup dan menghidupi hewan yang didalamnya. Ya kalau begitu. Yang dibutuhkan adalah keluasan samudera wadah menerima. Apa saja dan darimana saja. Dan bukan hanya luas. Kedalaman makna. Kedalaman jiwa juga merupakan syarat mutlak dari sebuah samudera. Gimana?  


4 komentar:

Hilmy Nugraha mengatakan...

paradigma yang bagus mas.
menarik.

Anonim mengatakan...

Semua adalah isyarat dari sang pencipta, bener juga sih Gus Ibrahim. Kalo peka cepet nangkep cahaya, kalo kata kata sy gak bermakna itu tanda cahayanya samar bahkan redup atau gelap.Hebat nih twitter hanya salah satu cara semesta menyapa kita.Mari kita mulung lagi.

SirIbrahim mengatakan...

terima kasih mas.. :)

Cakrawala mengatakan...

ayat-ayat kauniyah yang tersebar di alam semesta..