Page

Kamis, 19 Januari 2012

Nurani

Dont follow your heart...!!


Nurani merupakan kependekan dari nur, yang berarti cahaya. dan aini yang berarti mata. Yakni pancaran cahaya yang bersumber dalam hati manusia. Sebut saja qalbu.. Beberapa ahli tasawuf menyebut qalbu ini merupakan bagian dari sisi ruhani manusia. Ia kerap diartikan hati. Yang dimaksud hati bukanlah berupa hardware manusia yang berbentuk gumpalan daging yang terdapat didalam badan manusia. Ya.. Ia ruhani. Software.. Perangkat lunak dari sistem teknologi yang terdapat pada manusia.

Ada beberapa lapisan dari kata qalbu. Dan beragam nama pula pada lapisan qalbu tsb. Tapi.. Kali ini saya tidak menulis tentang nama dan istilah qalbu beserta penjabarannya.
Kalau kalimat qalbu kemudian disebut juga nurani maka ada kemiripan fungsi dari perangkat keras manusia yang disebut panca indra. Nurani kadang diartikan juga sebagai pandangan mata hati. Selain bisa memandang, qalbu juga bisa mendengar, merasa,menyentuh atau tersentuh dan masih banyak lagi. 


"Gunakan kata hatimu.." 

"Pakailah hati nuranimu.."

Kata kata ini seringkali kita dengar dibeberapa peristiwa kehidupan. 
Ia seolah cahaya kebenaran yang dimiliki dari dalam dasar lubuk hati manusia. Ia seolah tolok ukur benar atau tidaknya suatu perkara. Ia seolah kebenaran sejati ketika manusia dihadapkan dalam memilih sesuatu yang benar atau tidak..
Kalau memang begitu adanya, ketika manusia mempunyai kebenaran sejati dalam dirinya, maka buat apa susah payah para nabi dan rasul dikirim untuk menegakkan kebenaran Tuhan? Sesuatu yang sia sia juga Allah menurunkan Kitab Nya lewat para utusan yang Ia dipilih.

Konon, dahulu ketika manusia mempercayai suatu tradisi bila seorang ibu melahirkan anak perempuan maka ia langsung dibunuh. Karena menurut tradisi setempat pada waktu itu bahwa mempunyai anak perempuan merupakan aib keluarga. Mereka merasa bersalah jika mereka membiarkan hidup para anak anak perempuan. Hati nurani mereka merasa malu. Juga sebaliknya, jika yang kemudian lahir adalah anak laki laki maka menjadi bangga lah mereka..
Sebenarnya pada zaman sekarang pun masih ada kasus demikian dengan model yang berbeda. Sebagai contoh, di beberapa daerah di Indonesia saja, sampai hari ini masih terdapat suku suku yang masih tidak berbaju itu, pun tidak merasa malu, dengan santai mereka berjalan jalan ditempat umum tidak memakai celana. Tidak ada rasa bersalah pada hati nurani mereka.
Pada zaman sekarang, seorang akan merasa malu dan bersalah jika mengenakan pakaian yang dianggap tidak cocok pada moment tertentu. Lalu, di mana letak kebenaran sejati? Apakah itu merupakan hukum peradaban modern dengan beraneka ragam tradisi yang dibuat dan disepakati oleh manusia itu sendiri. Sehingga ia menjadi hukum tertulis atau pun tidak tertulis yang baku. Ketika hukum tersebut dilanggar, maka muncullah perasaan bersalah pada manusia.

Seorang Kyai besar berkata di hadapan ribuan santrinya pada saat pengajian umum. "saya tidak yakin, apakah kita benar benar sesuai dengan pendidikan yang kita jalani ini dengan apa yang dimaksud pendidikan oleh Allah dan Rasulullah.." padahal, Kyai ini cukup sukses diakui oleh berbagai macam negara dengan sistem pendidikan dan pengajaran yang diterapkan di pesantrennya.

Dari kata kata Kyai ini sebenarnya memakai tolok ukur yang sangat tinggi. Ia memakai kata Allah dan Rasulullah untuk standarisasi mutu dan sistem pendidikan. Lalu bagaimana dengan Hukum Negara? Hukum Sosial? Atau norma norma kehidupan yang dibuat berdasar standar kesepakatan filosofi yang bersumber dari manusia itu sendiri. Jangankan dari Allah, dari Manusia Agung seperti Rasulullah saja tidak... 

1 komentar:

Muhammad Zikri Waldi mengatakan...

yah, begitulah kalau nur sudah redup dan aini tak melihat - buta sungguh buta cahaya matanya