Sirun baru saja terbangun dari tidurnya. Ia duduk dibibir tempat tidur. Mengingat kembali apa yang baru saja dilihatnya dalam mimpi. Ia termenung. Berpikir entah apa yang ia akan lakukan.
"Kalau bertanya, tanya kepada siapa? Siapakah orang itu? "Ia bergumam.
Jarum jam menunjukkan jam dua siang. Rupanya ia tertidur sejenak. Tidak lebih dari satu jam. Tapi rasanya seperti tidur seharian. Badannya terasa sangat segar. Rasa lelah yang membuat ia tertidur setelah shalat dzuhur pun sirna begitu saja. Kecuali sisa sosok bayangan seorang lelaki yang baru saja ia temui dalam mimpi..
"Kemarilah nak.. Temui aku di Desa Wates, Aku bukan Kyai dan jangan pula panggil aku Wan Habib.. Kemari nak.."
Tetapi wajah lelaki itu seperti seorang lelaki keturunan Arab. Entah dimana Desa Wates tersebut. " Tetapi.. Suasananya sepertinya aku kenal. Jalan yang tidak terlalu besar, berbeton, beberapa pohon rambutan disisi kiri dan deretan toko disisi kanan berjajar diseberang menuju arah rumahnya.. Tapi dimana ya? Sepertinya... Ah bukan! itu bukan benar benar desa perkampungan. Mmm.. Dimana ya?" Sirun bertutur dalam lamunan.
"Aku tidak punya waktu lagi.. Hari ini hari liburku.. Dua hari lagi sudah masuk hari pertama bulan Ramadhan... tidak terbiasa aku kemana mana saat puasa.."
"Seingatku, jalan yang menuju arah kesana, daerah perbatasan antara Jakarta dan Bekasi. Iya.. benar.. !! Sekarang aku ingat, waktu dulu ketika mengantar teman ke daerah Gempol. Iya benar.. Jalan itu mirip sekali..!! "
Tanpa berpikir panjang Sirun mengambil air wudhu.. Memang seperti itu sudah menjadi kebiasaannya jika hendak pergi kemana mana. Mengambil air wudhu.
"Bismillah.. Aku berangkat ke daerah gempol sebelah timur Jakarta "
Dengan berkendara motor Sirun berangkat menuju arah yang ia maksud. Perasaannya berkecamuk. Antara yakin dan ragu, percaya dan tidak percaya. Namun dibathin Sirun ada semacam dorongan menjumpai lelaki yang ia temui dalam mimpinya yang begitu kuat.
"Ah.. mungkin aku sudah gila! Karena mimpi saja aku harus mempercayainya. Ah sudah lah.. Sekarang aku sudah dijalan menuju kesana, kalau aku tidak mencarinya mungkin aku tambah gila karena penasaran.. Biarlah..! Yang penting aku usaha menemuinya. Aku sudah janji pada Tuhan. Aku sudah pasrah.. Aku sudah merelakan apa saja yang sudah dan akan terjadi. Aku hanyalah kapal layar. Hembusan angin merupakan tanda perintah, meski aku adalah nakhoda untuk ragaku sendiri. Entah apapun bentuknya. Aku sudah merelakan hembusan angin yang mengarahkan aku kemana saja. Aku ingat kata kata siMbah dulu.. Manusia sesungguhnya diperjalankan, karena hakekatnya bukan ia yang berjalan. Namun.. Ah! Entahlah.. Kalaupun tidak berhasil menemuinya. Aku sudah pertimbangkan. Paling tidak, aku rugi waktu dan tenaga, bukan merupakan mudharat besar bagiku ketimbang rasa penasaran yang sangat.."
Sirun tetap berkendara. Hatinya tetap perang dengan pertanyaannya sendiri. Kadang ragu kadang mantap. Tapi ia tetap berjalan.. Karena hidup merupakan perjalanan dan perjumpaan. Begitulah perinsip hidup Sirun.
Sampai tempat yang ia tuju, ia mengarahkan sepeda motornya kearah pedagang rokok pinggir jalan. "Mas, saya mau tanya, apa disekitar sini ada seorang Kyai? Emm.. Maksud saya orangnya sekitar umur tujuh puluh tahunan berpakaian Kyai atau Ustad? Mungkin juga sesepuh daerah sini..??"
Setelah menanyakan dengan sedikit menceritakan wajah lelaki yang ia maksud pada penjual rokok pinggir jalan, pedagang tersebut mengatakan, mungkin yang sampeyan maksud itu seorang sesepuh bernama Mbah Marin. Beliau mirip sekali apa yang barusan mas ceritakan. Menurut warga sini Beliau seorang Waliyullah, tapi beliau jarang dirumah.. bersyukur kalau dapat menjumpainya. biasanya orang kembali lagi tidak jadi bertemu Beliau setelah tidak sabar menunggu lama di teras depan rumahnya atau di mushalla. "
"Rumahnya dua gang lagi dari sini sebelah kiri. Kalau sudah ketemu gangnya. Masuk saja Mas, disana ada Mushalla. Nah rumahnya didepan Mushalla itu.."
"Baik, terima kasih, mudah mudahan benar.. saya berangkat dulu. Terima kasih mas.."
Bersambung..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar